Kakak kebanggaanku





Kakak Kebanggaanku
Inspired by Muhammad Edwin
Fanfict by Keken/@LKendedes

            “Kak Edwiiiiiinnnnnnn !!!” Teriakku memecah keheningan pagi itu saat kakak ku satu-satunya mencoba membangunkanku dari alam mimpiku.
            Pagi ini begitu hangat dan penuh kekeluargaan. Oh iya perkenalkan, nama aku Keken, biasa dipanggil Chiki. Kini aku tinggal dengan seorang ibu dan kakak ku. Bagaimana dengan ayahku ? Sejak Usia 3 tahun, aku sudah terbiasa tanpa kehadiran seorang ayah, karena ayah ku meninggal dunia disebabkan kecelakaan.
            Sekarang aku hanya memiliki seorang ibu dan seorang kakak. Ya, kak Edwin. Kak Edwin adalah sosok seorang kaka dan sekaligus ayah bagiku. Kak Edwin sekarang sudah berusia 18 tahun dan kuliah disalah satu fakultas favorit dikotaku ini.
            “Edwin, Chiki ayo sarapan dulu…” terdengar suara lembut mama dari ruang makan.
            “Iya ma sebentar, ini Chiki masih ngebo !” ujar kak Edwin seraya menarik selimutku.
            “Kaaak ! Kenapa sih hobi banget dah bangunin Chiki tiap minggu pagi…” balasku dan beranjak dari tempat tidur.
            “Yaudah kakak doain kamu dapat pasangan kebo nanti, mau ?” ledek kak Edwin sambil menarik hidungku kemudian pergi dari kamarku.
            “Awww ! Sakit kak !” rengek ku dan memegangi hidung ku yang memerah.

            Akhirnya aku bergegas mandi sejenak lalu menghampiri mama dan kakakku yang dari tadi sudah siap diruang makan. Aroma masakan tercium sangat nikmat dihidungku. Aku pun dengan sigap langsung berlari dengan cepatnya menuju ruang makan.
            “Ih banyak makanan enak kayaknya…” ucapku lalu memperhatikan makanan yang ada diatas meja.
            “Kalau makanan aja cepat….” sahut kak Edwin.
            “Oh iya ma, sekolah Chiki bakal ngadain pensi loh. Nah Chiki disuruh ikut lomba fashion…” ucapku lagi sambil mencomot roti selai yang telah disiapkan mama.
            “Wah bagus dong, kalau gitu kamu ikut aja Chik…” balas mama.
            “Chiki ikut lomba fashion ? Haha cocok ikut lomba futsal aja si Chiki ma…” sahut Kak Edwin cekikikkan sambil membuat sebuah roti selai.
            “Ma liat tuh kak Edwin ngejekin Chiki mulu…” rengekku dengan manja.
            “Win gak boleh gitu dong, seharusnya kamu support adek kamu biar bias jadi cewek beneran…” tambah mama tak kalah mengejekku.
            “Ah mama sama kak Edwin sama aja…” ucapku memanyunkan bibirku.
            “Haha enggak kok dedek nya kakak, becanda doang mah kakak…” balas kak Edwin mengelus kepalaku.
            Begitulah kira-kira pagi bahagiaku bersama 2 orang yang teramat ku cintai. Ya, Mama dan kak Edwin yang selalu ada untukku dan mencintaiku dengan tulus. Aku pun berharap tak ada lagi yang pergi dari keluarga kecil yang ku miliki saat ini sampai aku dapat membahagiakan mereka berdua.
            Malam hari saat aku tak bisa tertidur, aku melamunkan sosok sang ayah. Selama hidupku, aku tak pernah melihat wajahnya, aku tak pernah mendengar teriakkan darinya. Bahkan aku tak tau bagaimana dia sebenarnya. Saat ku termenung, seseorang membuka kamar tidurku…
            “Chik, kenapa belum tidur ?” sosok yang ternyata kak Edwin.
            “Gak tau nih kak, Chiki gak bisa tidur…” balasku.
            “Loh kok gitu ? Tidur gih, sudah larut malam loh…” tambah kak Edwin.
            “Hm iya. Oh iya kak, Chiki boleh nanya sesuatu gak ?” Tanya ku pada kak Edwin.
            “Mau nanya apa sih dedek kakak yang satu ini ditengah malam kayak gini…” balas kak Edwin lalu duduk tempat tidurku.
            “Ayah itu orang nya gimana kak ? Gimana wajah dia, gimana suara dia dan gimana sosok ayah sebenarnya ?” Tanya ku sambil memegang fotoku bersama kak Edwin.
            “Ayah ya ? Coba deh kamu lihat gimana wajah kakak. Disitu kamu bisa lihat gimana wajah ayah sebenarnya, hehehe. Wajah ayah sama kakak sama kok Chik. Suara ayah dan kakak pun hampir sama. Bahkan sikap dan sosok ayah, itu juga sama dengan kakak. Jadi kalau kamu mau tau gimana sosok ayah sebenarnya, kamu cukup liat kakak, disitu kamu bisa tau gimana sosok ayah yang kamu pertanyakan selama ini. Disini kaka gak cuman jadi seorang kakak buat kamu, tapi juga jadi seorang ayah. Yaudah kamu tidur ya, sudah malam…” jelas kak Edwin tersenyum dan mencium keningku.
            Aku hanya tersenyum dan mencoba membayangkan sosok ayah yang dijelaskan kak Edwin padaku. Ternyata benar, kak Edwin bukan hanya seorang kakak bagiku, tapi juga seorang yang menjadi sosok ayah dalam kehidupanku ini.


            Pagi selanjutnya tiba. Aku harus kembali bersekolah karena weekend telah usai. Aku bersekolah di di SMAN 31 jakarta yang dulu juga bekas sekolah kak Edwin. Hari ini suasana sekolah begitu ramai karena seluruh kelas mempersiapkan kelas dan dirinya masing-masing untuk acara pensi yang rutin dilaksanakan setahun sekali.
            “Chik, mama mu datang gak nanti pas pensi ? Setau ku mama mu kan sibuk dengan kerjaannya yang selalu keluar kota ? Terus yang dampingin kamu buat pensi nanti siapa ?” tanya teman sekelasku yang menghampiri ku dengan tiba-tiba.
            “Ada kakak ku kok. Dia pasti datang dan dampingin aku nanti…” balasku namun dengan nada khawatir apakah kak Edwin bisa mendampingi ku nanti.
            “Bukannya kakak mu bakal tampil diacara festival kontes gitaris se-jakarta ya ?” tambahnya dan kini sangat membuatku khawatir.
            “Ya gak tau lah. Nanti coba aku Tanya kakakku dulu…” balasku semakin khawatir
            Sudah jam 5 sore, aku bersiap untuk balik kerumah karena disekolah pun membosankan karena semuanya hanya sibuk mempersiapkan kelas untuk pensi nanti, sekaligus menanyakan kak Edwin untuk masalah pensiku.
            Sesampainya dirumah aku segera membuka pintu rumah dan segera masuk,
            “Kak Edwin gak kuliah ?” tanyaku heran saat melihat kak Edwin duduk diruang tengah sambil menonton tv. Padahal jam segini adalah jam-jam dia kuliah.
            “Sudah selesai Chik. Tadi gak dosen jadi kakak pulang deh…” balas kak Edwin.
            “Oh gitu. Mama sudah pulang kantor ?” tanyaku lagi.
            “Astaga kakak lupa bilang, mama tadi berangkat ke padang untuk kerjaannya..” sambung kak Edwin yang sedikit membuat ku sedih karena mama lagi-lagi meninggalkan kami berdua keluar kota. Tapi aku tak ada hak untuk marah karna itu memang sudah kerjaan beliau.
            “Yah jadi gimana dong, besok kan lomba fashion Chiki kak. Chiki mau kakak sama mama nonton Chiki…” ucapku dengan mata berkaca-kaca.
            “Hmm, sudah gak apa. Meskipun mama gak bisa nonton, kan ada kakak yang bakal nonton lomba fashion kamu…” balas kak Edwin kemudian memelukku seraya menenangkanku.
            Aku sangat mempercayai kak Edwin. Karena sejak kecil hingga berumur 15 tahun ini, kak Edwin tetap menjadi kakak terbaik untukku. Mama memang jarang ada waktu untuk ku dan kak Edwin. Itu sebab kenapa aku lebih dekat dengan kak Edwin ketimbang mama, karena kak Edwin selalu ada waktu untuk memanjakanku.
            Tapi kali ini aku sedikit ragu dengan janji kak Edwin yang akan menonton lomba fashionku, karena setahu ku besok adalah hari kontes gitaris se-jakarta yang merupakan impian kak Edwin sejak dulu.


            Esok hari tiba. Aku bangun lebih awal untuk mempersiapkan segala hal yang ku butuhkan untuk lomba fashion hari ini. Setelah semua selesai aku izin pada kak Edwin terlebih dahulu.
            “Kak, Chiki berangkat dulu ya. Jangan lupa ya jam 11 ke sekolah Chiki…” ucapku sambil melihatkan jejeran gigiku.
            “Iyaa dedek kakak yang paling cerewet, nanti kaka datang kok…” jawab kak Edwin meyakinkanku.
            Setelah beberapa menit diperjalanan, aku pun sampai didepan gerbang sekolah bertuliskan SMAN 31 Jakarta. Aku segera bergegas ke kelas, dan sesampainya dikelas aku mulai berdandan karna tak lama lagi lomba fashion ini akan dimulai.
            Waktu berlalu dengan cepat. Sekarang sudah menunjukkan pukul 10.30 WIB dan aku telah bersiap dengan sebuah gaun pink pendek selutut dan beberapa hiasan dikepalaku. Tak lama lagi lomba dimulai, namun aku belum melihat sosok kak Edwin di jejeran bangku penonton.
            Kini telah menunjukkan pukul 11.00 WIB, tapi kak Edwin tetap saja tak terlihat dijejeran bangku penonton. Lomba pun dimulai dari nomor urut 1, sedangkan aku berada dinomor urut  15. Beberapa nomot maju secara bergantian kala dipanggil oleh MC. Hingga tiba giliranku…
            “Kita sambut, nomor 15 !” ucap MC pada acara pensi pagi itu.
            Aku melangkah naik ke atas panggung dengan penuh rasa kecewa karena kak Edwin masih saja tak terlihat saat giliranku telah tiba. Saat ku berdiri tepat dikarpet merah, aku melirik ke arah gerbang. Ku lihat seorang cowok berlari tergesah-gesah menuju deretan kursi penonton, ya cowok itu adalah kak Edwin.
            Dengan hati yang sangat gembira dan penuh keyakinan, aku melangkah diatas karpet merah tersebut dan mulai membuka senyum lebar seraya percaya diri karena kakakku hadir dan menyemangatiku.
            Setelah lomba selesai, aku segera mencari kak Edwin yang berada diantara banyaknya penonton yang hadir saat itu.
            “Kakak !” ucapku sumringah menuju kak Edwin.
            “Hey, duh dedek kakak cantik banget sih pake gaun kayak gitu…” puji kak Edwin sambil mengelus kepalaku.
            “Ah kakak bisa aja. Ada angin apa nih kaka muji kayak gitu haha…” balasku.
            “Oh iya, festival kontes gitaris se-jakarta yang kakak mau ikutin gimana ?” tambahku.
            “Hm itu udah gak usah dipikirkan. Mungkin lain waktu kakak bisa ikutan hehe…” balas kak Edwin tersenyum.
            “Kak maafin Chiki, gara-gara Chiki kakak harus ninggalin festival kontes impian kakak hanya karna menghadiri lomba fashion Chiki…” isakku dan kini bulir bening air mata mengalir dipipiku.
            “Loh kamu kenapa nangis ? Itu cuman kontes biasa kok. Itu memang mimpi kakak, tapi mimpi kakak yang lain dan yang terpenting adalah membahagiakan kamu. Bagi kakak, kamu lebih penting dari apapun yang ada didunia ini. Kamu tau gak ? Kamu adalah satu-satunya alasan kenapa kakak bisa semangat menjalani hidup kakak. Menjadi gitaris pun, itu semua karna kamu…” ucap kak Edwin dengan lembutnya.
            Aku yang masih menangis tersedu segera memeluk kakak ku dengan eratnya. Seorang kakak yang yang rela meninggalkan mimpinya demi adiknya, dan seorang kakak yang sejak dulu melindungi adiknya.
            Aku begitu menghargai kasih sayang kakakku. Suatu kebanggaan bagiku bisa memiliki seorang kakak sepertinya, seorang kakak yang melebihi seorang ayah bahkan melebihi seorang ibu.
            Dalam peluk hangat kak Edwin, tiba-tiba kak Edwin berbisik padaku…


“Mungkin kamu merasa seperti tak mempunyai seorang ayah dari kecil, karena memang dia tak pernah ada mulai saat itu. Bahkan sampai sekarang pun kamu juga merasa tak mempunyai seorang ibu karena kesibukkan kerjaannya sampai-sampai jarang ada waktu untukmu dan memanjakanmu. Tapi kamu punya seorang kakak, seorang kakak yang akan terus mencintaimu, menyayangimu dengan tulus. Seorang kakak yang akan terus menjagamu dari apapun yang akan mengusik atau menganggu hidupmu. Dan seorang kakak yang akan terus membimbingmu menuju jalan yang benar agar kamu bisa jadi sosok yang baik, bahkan melebihi seorang kakak tersebut…”

Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar