Antara Cita dan Cinta



Antara Cita dan Cinta
Inspired by Mellany Mislan

            Terik mentari senja yang menghadap ke wajahku membangunkanku dipagi itu. Pagi dimana hari terlihat begitu indah, cuaca yang begitu mendukung untuk melakukan aktifitas hari ini. Sebelumnya perkenalkan namaku Muhammad Edwin, dan kini aku duduk dikelas 3 SMA.
            Pagi itu kembali dimulai saat dimana aku mulai mempersiapkan diriku untuk bergegas mandi, hingga selesai. Ku lanjutkan untuk sarapan sejenak dan akhirnya bergegas ku menuju sekolah yang terbilang tak jauh dari rumahku.
            Aku memilih mengendarai sepeda motorku karna waktu juga hampir menunjukkan pukul 7.15, waktu dimana bel sekolah tanda masukan berbunyi. Tak jauh ku tempuh perjalanan dari rumah ke sekolah, akhirnya aku sampai didepan sebuah pagar sekolah bertuliskan “SMA Negeri 1 Samarinda”.
            Dengan sigap ku berlari menuju kelas karna ku lihat jam hampir saja memasuki bel tanda masukkan. Sesampainya dikelas, “Kringgg kringgg kringgg”. Tepat waktu aku masuk kedalam kelas dan langsung menuju tempat dudukku.
            “Win, gimana turnamentnya ?” tegur Wawan yang sering kusapa “Okto”.
            “Yeeee kamu nggak ada dengar kabar ? Alhamdulillah juara 3 To.” Balasku sambil menaruh tasku dibangku tempatku duduk.
            “Wah gitu ya, aku nggak ada update hehe...” sambung Okto.
            Perbincangan singkatku dengan Okto terhenti karna guru yang pagi itu mengajar masuk ke kelas kami. Setelah duduk, guru itu pun mulai mengabsen satu per-satu murid dikelas ini. Dari awal hingga pertengahan absen, pikiranku tertuju pada satu nama yang disebutkan oleh guru. Ya, saat guru itu memanggil nama “Mellany Mislan”.
            “Mellany Mislan ? Siapa dia ?” ucapku heran.
            “Kenapa Win ? Mellany ya ? Murid baru dia...” tegur Okto.
            “Murid baru ? Kok aku gak tau ya ?” tanyaku lagi dengan penuh perasaan penasaran.
            “Kamu kan 2 minggu ini gak sekolah gara-gara turnament bola. Btw yang namanya Mellany itu cantik loh Win...” balas Okto tersenyum-senyum padaku.
            “Cantik ? Kamu tau sendiri aku gimana, apalagi kalau soal bola, bisa-bisa cewek tercantik pun gak aku heranin kalau lagi fokus sama bola.” Sambungku seraya menatap Okto.
            “Mau sampai kapan coba Win fokus sama bola ? Apa itu dulu alasan kenapa kamu putus sama Dina ? Cuman karna kamu terlalu cinta sama bola ?” tanya Okto yang kini membuatku terdiam sejenak.
            “Hm udah lah To, gak usah dibahas...” balasku lalu mengambil sebuah buku dari tasku.
            Benakku kini bertanya-tanya seakan heran, mengapa diri ini seakan-akan buta akan cinta pada seseorang, malahan lebih cinta pada hobi dan fokus mengejar suatu cita-cita.
            Saat jam pelajaran selesai, aku menuju perpustakaan. Diperjalanan menuju perpus, aku melihat banyaknya siswa yang dihukum karena terlambat. Namun aku tetap melanjutkan langkahku untuk menuju perpus dan mengambil sebuah buku yang ingin ku baca.
            Setelah dari perpus, ku lihat dilapangan sudah tak ada lagi murid yang dihukum. Ku langkahkan kaki ku menuju kelasku. Dijalan menuju kelas, ketidakfokusan ku membuat aku bertabrakan dengan seorang murid lain disekolahku yang juga membawa sebuah buku. Namun menimbulkan pertanyaan karna selama 3 tahun sekolah disini, aku baru melihatnya,
            “Maaf ya aku gak sengaja...” ucapku lalu membereskan buku yang berjatuhan dilantai.
            “Gak papa kok. Lagian salahku juga gak liat-liat...” balasnya yang juga menyimpuni bukunya.
            Setelah usai menyimpuni buku yang jatuh, aku bangkit dan dia juga pun mulai berdiri lalu hendak pergi. Namun aku menahannya sejenak untuk mengajak berkenalan, karna jujur, aku melihat ada yang beda dari matanya...
            “Eh bentar, nama kamu siapa ?” tanyaku.
            “Namaku Mellany Mislan. Murid baru disekolah ini...” balasnya.
            “Oh ini yang namanya Mellany.” Gumamku dalam hati. “Aku muhammad Edwin...” ucapku lalu mengacungkan tanganku seraya mengajak berkenalan.
            “Hm iya iyaa...” balasnya lagi dengan senyuman.
            “Mampus dah itu senyum manusia ?!” ucapku dalam hati.
            “Kok diam ?” tegurnya.
            “Eh enggak apa-apa kok, murid baru dikelas 12 Ips 2 kan ?” tanyaku.
            “Tau dari mana ?” ujarnya heran.
            “Aku kelas situ juga, tadi pas absen heran aja ada nama baru dikelas hehe...” balasku tersenyum bodoh.
            “Hooo gitu, yaudah aku balik ke kelas dulu ya...” sambungnya lalu bergegas menuju kelas.
            “Barengan aja boleh gak ?” pintaku.
            “Hm yaudah, yuk !”
            Akhirnya aku menuju kelas bersama murid baru bernama Mellany Mislan itu. Tatapan ku terus meilirik pada wajahnya, senyumnya dan mata indahnya. Tapi mustahil kalau aku jatuh cinta secepat ini.
            Sampai dikelas, Mellany langsung menuju tempat duduknya, begitu juga aku. Saat ku menyusun kembali buku-buku yang ku ambil dari perpus, aku melihat buku Mellany yang terselip ditumpukan buku yang ku ambil, mungkin karna bertabrakan tadi.
            “Mel, ini buku kamu. Tadi kayaknya gak sengaja keambil pas tabrakan...” ucapku lalu memberikan buku miliknya.
            “Eh iya, makasih yaa...” balasnya dan lagi-lagi dengan senyuman indah yang mungkin sudah menjadi ciri khasnya.
            Aku berbalik menuju tempat dudukku...
            “Cie udah dekat aja...” tegur Okto.
            “Dekat ? Dekat dari hongkong. Tadi cuman gak sengaja tabrakan pas aku dari perpus...” balasku.
            “Cantik  nggak ?” ledek Okto.
            “Ngawur aja omonganmu...” balasku sewot.
            “Elah nggak usah bohong, suka kan kamu ?” kini Okto makin memanaskan suasan pembicaraanku dengannya.
            “Sudah lah malas ngebahas begituan...” balasku lalu memasang headset ke telingaku.
            Tiba-tiba pikiranku langsung terlintas pada omongan Okto yang mengatakan kalau aku suka dengan Mellany. Apa iya, aku semudah itu suka dengan seseorang yang jelas-jelas belum 1 hari aku kenal.

            Saat pulangan, aku memutuskan untuk tak langsung pulang. Ku sempatkan membaca sebuah novel didepan kelasku. Tak lama kemudian, anak-anak basket putri disekolahku latihan. Tatapanku kembali terarah pada seorang pemain basket dilapangan itu. Ya, Mellany...
            “Oh jadi pemain basket juga dia...” gumamku dalam hati.
            Aku terus memperhatikan Mellany saat sedang berlatih basket dengan teman-temannya yang lain. Saatku fokus memandangi Mellany yang sedang latihan basket, tiba-tiba seseorang mengagetkanku, yaitu Okto dan Arif...
            “Wey ngapain belum pulang ?!” tegur Arif.
            “Enggak apa, cuman lagi mau baca novel aja...” balasku. Namun tatapan mataku terus mengarah pada Mellany yang ada dilapangan.
            Okto mengikuti tatapan mataku yang tertuju kelapangan,
            “Baca novel atau lagi merhatiin Mellany ? Hahaha” canda Okto mendorong ku lalu tertawa bersama Arif.
            “Baca novel lah...” balasku dengan kesal lalu memutar tatapanku menuju buku novel yang ku baca.
            “Mau sampai kapan win ?” sahut Arif.
            “Apanya ?” tanyaku bingung.
            “Kamu sendirian. Bukan ngelarang sih, tapi harusnya kamu juga gak bisa terlalu fokus sama cita-citamu. Lagian masih lama juga...” sambung arif.
            “Bukannya ngejar cita-cita harus dari kecil ya ?” balasku lagi.
            “Gini deh. Ini mungkin kali pertama kamu ketemu sama mellany. Kita sudah berteman 11 tahun, ya aku tau betul kamu gimana. Seperti apa perasaanmu sekarang sama mellany ?” tanya Arif serius.
            “Penting ya aku ceritakan ? Bingung juga rif, to. Ya kalian tau lah, aku terlalu fokus sama sepak bola, tapi kenapa ya, pas liat dan kenalan sama Mellany, semua berubah gitu aja...” ucapku lalu menutup novel yang kubaca.
            “Berubah ?” alis Arif terangkat.
            “Ya berubah. Entah kenapa, ada perasaan yang beda aja. Tatapannya mata dan senyumannya terasa nyaman dipikiranku...” sambungku dan menatap Mellany yang bermain basket dilapangan.
            “Semuanya kembali dikamu sih, seterah apa yang terbaik menurut kamu...” sahut Okto dan kemudian bergegas pergi bersama Arif meninggalkanku didepan kelas.
            Aku belum beranjak dari depan kelas. Entah mengapa. Aku masih menunggu Mellany selesai berlatih basket. Saat tim basket putri sekolah ku sedang istirahat, ku lihat Mellany duduk sendiri dibawah ring basket. Ku hampiri dia sambil membawa sebuah air mineral.
            “Hay, capek ya ? Ini minum dulu...” tegurku pada Mellany lalu memberikannya sebuah air mineral.
            “Eh win, kenapa ? Loh ngapain repot-repot...” balasnya lalu tersenyum dan mengambil air mineral tersebut.
            “Ya nggak apa sih. Kan capek, yaudah minum dulu. Btw aku sedikit kaget pas tau kamu ternyata pemain basket hehe...” ucapku tersenyum kecil.
            “Yaudah makasih ya air mineralnya. Aku dari dulu sudah hobi basket kok. Karna aku tau disekolah ini ada ekskul basket, yaudah aku ikutan...” balasnya lagi dengan terus tersenyum dan membuatku sedikit salah tingkah.
            “Hm gitu ya...” senyumku semakin bodoh ketika berbicara dengan Mellany.
            “Kamu kapten tim bola sekolah sini kan ?” tanya nya.
            “Iya. Tau dari mana ?” balasku.
            “Udah banyak yang cerita sih. Termasuk Okto. Katanya kamu kapten tim bola disekolah ini. Terus Okto bilang, siapa yang gak kenal kamu hahaha...” ucapnya sambil tertawa kecil.
            “Haha bisa aja...”
            “Tapi kok jomblo ? Terlalu cinta sama cita-cita ya ? Sampai-sampai gak mau cari pasangan...” sambungnya sambil menggelengkan kepalanya lalu tersenyum.
            “Aku juga gak tau. Ya mungkin gitu, terlalu cinta sama cita-cita kali hehehe. Eh mel, besok nanti nonton yuk ?” ajakku dan berharap dia menerima ajakkan ku itu.
            “Nonton ? Film apa ?” tanya nya.
            “Counjuring. Mau gak ?” tambahku
            “Kalau aku gak mager deh hahaha...”
            “Mager ?” ucapku bingung.
            “Iya. Malas gerak hahaa...” sambungnya tertawa kecil.
            “Gitu ya ? Ada-ada aja bahasanya. Yaudah tuh kamu lanjut latihan aja. Oh iya kamu balik sama siapa nih nanti ?” tanya ku.
            “Aku naik taksi kayaknya nanti...” balasnya lalu berdiri.
            “Balik sama aku aja gimana ?” tawarku.
            “Gak ngerepotin (?)” ucapnya meyakinkanku.
            “Enggak kok...” balasku yakin.
            “Yaudah deh, aku latihan dulu yaa...” tegasnya lalu melemparkanku sebuah senyuman manis dari wajahnya.

            Aku kembali memperhatkan Mellany saat latihan. Dan saat selesai, Mellany menghampiriku dipinggir lapangan saat aku sedang sibuk membaca kembali novel yang sempat ku tunda karna Arif dan Okto tadi menggangguku didepan kelas.
            “Aku ganti baju dulu yaa...” ucap Mellany.
            “Yaudah aku tunggu didepan gerbang aja...”balasku tersenyum dan Mellany membalasnya juga dengan sebuah senyuman.
            Aku menunggu Mellany didepan gerbang sekolah. Tak lama kemudian teguran seorang wanita sedikit mengaggetkanku. Ya, Mellany.
            “Maaf ya agak lama...” tegurnya.
            “Nggak apa kok. Yaudah yuk...” ajakku.
            “Emang kamu tau rumahku dimana ?” ucap Mellany tertawa kecil.
            “Astaga begonya aku” gumamku dalam hati. “Eh iya nggak tau hehe...” balasku tersenyum bodoh.
            “Yaudah yuk entar aku tunjukkin...” sambungnya lalu naik ke atas motor.
            Diperjalanan pulang aku dan Mellany bercerita banyak, terutama tentang keseharian kita berdua jika dirumah, sekolah atau dimanapun. Sambil tertawa bercanda bersama diatas sebuah motor, seakan sudah saling berkenalan lama, padahal baru saja 1 hari berkenalan.
            Perjalanan cukup jauh, namun canda tawa diatas sebuah motor ini membuat perjalanan menuju rumah Mellany tak ada rasanya. Hingga aku sampai mengantarkan Mellany pulang dan sampai tepat didepan rumahnya.
            “Makasih ya win sudah mau ngantar pulang...” ucap Mellany saat turun dari motor ku.
            “Hehe iya sama-sama...” balasku.
            “Oh iya, untuk nonton besok, iyaa aku mau kok hehe. Eh btw kamu lagi baca buku novel "Love Story” ya ?” tanya nya.
            “Kok kamu tau ?” balasku heran.
            "Aku liat pas kamu baca buku itu didepan kelas. Itu endingnya keren loh...” ucapnya.
            “Aku belum baca sampai habis. Yaudah entar aku lanjutin deh hehe...” balasku tersenyum.
            “Yaudah sampai ketemu besok yaa...” Mellany membalas senyumku dan bergegas masuk kerumahnya, begitu juga aku yang bersiap untuk balik ke rumah.

            Pagi esok tiba lagi. Kini aku bergegas menuju sekolah lagi. Dengan mengendarai sepeda motorku, aku pun tiba kembali disekolah. Setelah memarkir motor, aku langsung lari menuju kelas ku. Karna lagi-lagi aku hampir saja terlambat.
            Sampai didepan kelas, tiba-tiba aku melihat sebuah buku diary tergeletak didepan pintu kelas.
            “Buku siapa ini ?” gumamku heran.
            Akhirnya aku memasukkannya kedalam tasku dan masuk kedalam kelas lalu beranjak menuju tempat duduk dibangku ku. Masih bertanya-tanya aku tentang diary tersebut. Saat ada waktu luang, aku membuka isi buku diary tersebut. Dan ternyata itu adalah milik Mellany.
            Kubaca diary itu sampai selesai, dan kini aku sudah mengetahui sedikit tentang Mellany. Tentang hobi, cita-cita, dan apapun hal yang dia sukai. Ku coba mengembalikan buku tersebut pada Mellany. Mellany tak ada dikelas saat itu, aku mencoba mencarinya dan ternyata dia ada didepan kelas, duduk sambil membaca sebuah buku.
            “Hay cewek pemageran yang sok strong, suka dengerin lagu galau dimalam hari dan juga suka ngemil coklat dimalam hari. Tapi anehnya punya cita-cita jadi pengacara dan juga hobi masak juga hobi main basket. Nih buku diary kamu, tadi jatuh didepan kelas. Maaf ya sudah lancang bacanya...” tegur ku lalu mengembalikan buku diary tersebut sambil tersenyum.
            “Loh kok bisa ? Duh pasti tadi jatuh nih...” balasnya gegabah.
            “Kamu orang nya lucu juga ya hehehe. Yaudah siang jadi nonton gak ?” tanyaku.
            “Hmm iyaa jadi kok...” balasnya yang mulai tenang.
            “Yaudah aku balik ke kelas ya...” tambahku dengan senyum kecil karna isi buku diary Mellany.

            Saat siang hari tiba. Aku bergeas menjemput Mellany saat itu dengan maksud telah mengajaknya untuk nonton hari ini. Tiba didepan rumah Mellany, Mellany sudah menunggu sambil bermain hp yang ia genggam.
            “Eh sudah lama ?” tanya ku.
            “Enggak kok, yaudah yuk...” balasnya lalu naik ke atas motorku.­
            Ku kendarai kembali sepeda motor ini hingga tiba disebuah mall yang ada dikota. Setelah menempuh jalan yang tak jauh dari rumah Mellany kami berdua sampai disalah satu mall tujuan kami.
            Memasuki mall, kami menuju lantai 5 tempat letak bioskop dimall ini. Usai memesan tiket dan melihat jeda waktu yang lumayan panjang sebelum menonton, aku dan Mellany memutuskan untuk makan sejenak disebuah tempat makan dilantai 2 tepat sebelah toko buku.
            Selesai memesan makanan, beberapa menit sunyi tanpa sebuah pembicaraan antara aku dan Mellany, hingga tiba-tiba Mellany melemparkanku sebuah pertanyaan,
            “Cinta banget ya Win sama cita-cita kamu ? Maksudnya sepak bola...” tanya Mellany.
            “Gak tau Mell, tapi ya bisa dibilang begitu sih hehe” balasku.
            “Kalau cinta sama lawan jenis ?” tanyanya lagi.
            “Dulu aku gak pernah terfikir ke situ. Ada hari dimana aku bego banget. Ya, aku rela memutuskan hubungan spesial ku dengan seseorang hanya karna terlalu cinta dengan cita-cita ini,” balasku bingung sambil memutar-mutar handphone ku.
            “Harusnya sih kamu pergi untuk cita, dan pulang untuk cinta...” ucapnya tersenyum.
            “Maksudnya ?” jawabku heran.
            “Ya sebenarnya gak salah sih seberapa cinta nya kamu sama cita-citamu, tapi gak mungkin kan kamu nanti kawin sama bola atau bola atau sepatu bola ? Hehe yaa maksudku kamu bisa buat cita dan cinta itu berdampingan, tanpa harus merelakan salah satunya. Karna kadang, ada hal yang bisa kamu dampingkan tanpa harus melepaskan salah satu diantaranya.” Sambung Mellany dan kini membuat benakku bingung tak karuan.
            Aku menatap mata Mellany sejenak. Terlihat ada sebuah keindahan yang tersirat dari tatapannya. Kini aku tak tau apa yang harus ku lakukan. Tak bisa ku bohongi hatiku bahwa aku telah menyimpan perasaan spesial pada Mellany.
            Saat itu hingga makanan tiba, tak ada lagi perbincangan antara aku dan Mellany. Disela makan, Mellany menawarkan es krim yang ia makan ke padaku, dan membuat suasana makin terasa nyaman.
            “Mau nyoba gak ?” tawarnya.
            “Hm boleh...” balasku.
            Lalu ia menyodorkan es krim tersebut padaku. Entah makin bimbang hatiku setelah apa yang kulihat dan kurasakan hal yang berbeda dari Mellany, dari sebuah senyuman dan sebuah sifat yang membuat aku nyaman kala bersamanya.
            “Mau nyoba sambel ayam goreng aku gak ?” tawar candaku pada Mellany.
            “Ye aku tadi baik nawarkan es krim, kok sekarang malah ditawarkan sambel hahaha...” balasnya tertawa.
            Usai makan kami bergegas menuju lantai 5 karna sebentar lagi jam tayang film yang akan kami tonton mulai. Sesampainya didepan bioskop dan menjalani antrian yang cukup panjang, kami berdua pun masuk dan mengambil tempat duduk sesuai tiket yang kami pesan.
            “Kamu gak takut film horror kan ?” tanya Mellany sambil membuka sebuah minuman yang ia beli dan tersenyum padaku.
            “Nonton film horror takut ? Astaga cowok apaan yang takut nonton film horror haha...” balasku songong, padahal tak sesuai dengan kenyataan.
            Saat film mulai, kakiku mulai gemetaran, aku mulai menggigit kuku jariku seakan sangat ketakutan. Dan pada puncaknya...
            “Aaaaaa !!!” aku berteriak keras saat hantu dfilm itu muncul dengan tiba-tiba, ditambah sound efek yang mensupportnya.
            Namun kejadian ini membuatku malu, karna saat ku berteriak, Mellany sangat mentertawakanku. Saat film selesai kamu keluar dan aku hanya membolak-balikkan pandanganku kesekitarku.
            “Cowok apaan takut film horror...” ucap Mellany tersenyum kecil.
            “Enggak tadi cuman reflek aja...” balasku tak mengakuinya.
            “Udah ngaku aja kalau takut, aku lebih senang cowok yang mengakui kesalahannya kok haha...” sambungnya
            “Hm iyadeh iyaa aku takut...” balasku lagi.
            Akhirnya kami beranjak menuju tempat parkir dan bergegas pulang. Setelah menempuh perjalanan tak jauh, aku sampai didepan rumah Mellany untuk mengantarkannya pulang.
            “Makasih yaa udah mau ngajak nonton, lain kali jangan takut film horror ya haha...” ucap Mellany saat sampai didepan rumahnya dan turun dari motor.
            “Iyaa makasih juga udah mau nemanin nonton hehe. Iyee, dah ah lupakan kejadian itu...” balasku malu.
            “Yaudah hati-hati dijalan ya, sampai ketemu besok ya...” ucapnya lalu melambaikan tangannya dan masuk kedalam rumah. Aku pun langsung bergegas pulang.

            Pagi berikutnya tiba. Dengan sigap aku bergegas menuju sekolah. Usai siap dengan seragam dan selesai sarapan, aku pun mengemudikan sepeda motorku dan berangkat ke sekolah.
            Kuparkirkan sepeda motorku dan lari menuju kelas. Sampai dikelas, Arief dan Okto sudah ada ditempat dudukku.
            “Ngapain kalian ?” tanya ku.
            “Enggak apa kok win, ciee kemarin jalan berdua sama Mellany hahaha...” ucap Okto.
            “Ini bocah tengik berdua tau dari mana lagi ?” ucapku dalam hati. “Dasar paparazzi. Dah biarin aja, aku mau kelapangan bentar lanjutin novel kemarin...” balasku keluar kelas dengan sebuah novel yang ingin kulanjutkan.
            Tibaku dilapangan dan melanjutkan novel yang kubaca. Tenang aku membaca novel tersebut, dan tinggal beberapa paragraf lagi novel ini tamat ku baca. Namun teguran suara mengaggetkanku dan memaksaku untuk berhenti melanjutkan novel itu,
            “Jadi gimana Win, seru gak kemain ?” tanya Arief dan Okto lalu duduk disampingku.
            “Astagfir ! Ngapain sih ngikutin aku ?!” balasku lalu menutup novel yang ku baca.
            “Yaa kan kita juga pengen tau Win...” sambung Okto.
            “Aku cuman makan terus nonton. Udah gak lebih dari itu.” Balasku singkat lalu Arief menarik novel yang ku baca.
            “Apa-apaan sih !” sambungku kesal.
            “Sekarang waktunya kamu cerita ke kita, gimana perasaanmu ke Mellany...” ucap Okto serius.
            “Ya terus apa ? Iyaa aku suka sama dia, terus kenapa ?” balasku.
            “Menurut mu kamu gak mau jadian sama dia ? Apa ? Cita-cita ? Bola ? Mau sampai kapan ? Mau sampai bola bentuknya segitiga ?” terang Arief.
            “Aku juga bingung sama perasaanku. Ku akui aku menyimpan perasaan lebih sama Mellany, tapi aku gak bisa, aku gak bisa karna aku masih cinta denga bola. Kalaupun disuruh milih, mungkin aku milih bola dari pada dia...” balasku lagi dengan penuh rasa bimbang.
            “Kamu lihat kebelakang deh...” tegur Okto dan aku langsung memutar balikkan pandanganku kebelakang dan terlihat Mellany sedang membawakan bekal makanan yang mungkin ingin ia berikan padaku.
            Mellany menjatuhkan bekal makanan itu. Aku mencoba mengejarnya namun tak bisa karna bertepatan bel tanda masuk sekolah. Dibekal itu, terlihat sebuah surat kecil dan aku mengambilnya. Surat kecil bertuliskan,
            “For Edwin...
            Maaf yaa cuman bisa ngasih bekal sarapan ini, anggap aja balasan nonton kemarin dan juga kebaikan kamu hehe...”
            Aku menyesali ucapanku. Aku menyesali semua yang telah aku ucapkan dengan sembarangan dan tanpa ku sadari Mellany mendengar itu.
            “Sekarang kamu mau apa ? Udah puas cinta sama cita-cita mu ?” ucap Arief kecewa.
            “Harusnya kamu sadar, kalau gak semua cita-cita itu harus dicintai banget, sampai-sampai harus dibandingkan dengan seseorang. Suatu saat kamu juga butuh cinta, bukan cuman cita-cita !” sambung Okto yang juga kecewa.
            Aku tak mampu berbuat apa-apa, penyesalan lah yang hanya bisa aku rasakan. Aku memasuki kelasku, Mellany hanya fokus membaca buku pelajaran tanpa memandangiku walau hanya sebentar saat aku memasuki kelas. Okto pun berpindah tempat duduk dengan Arief. Kini aku sadar bagaimana aku menyakiti hati banyak orang.
            Pulang sekolah, aku menunggu Arief dan Okto didepan kelas, saat ia berdua keluar aku menghentikan langkah mereka.
            “Bentar-bentar, aku akuin aku salah. Dan aku mau perbaikin semua ini, tapi aku butuh bantuan kalian berdua. Tolong kalian baca dan lakuin semua hal yang ada dikertas ini. Sewa kafe puncak dan dekor semenarik mungkin, jangan lupa kalian ajak Mellany, bilang aja acara makan-makan gitu. Entar kalau udah siap, kalian sms aku aja. Tolong cuman ini caraku perbaikin semua ini...” ucapku pada mereka.
            “Yaudah, kita bakal lakuin sebisa kita...” balas mereka berdua.

            Saat malam hari dimana aku sudah siap dengan semuanya, Arief dan Okto tak kunjung memberiku kabar apa semua sudah siap atau enggak. Tak lama handphone ku berdering. Sebuah pesan singkat masuk.
            “Semua udah siap, Mellany juga udah disini. Aku berharap kamu pakai pakaian yang keren, soalnya Mellany malam ini cantik banget !” sebuah pesan singkat dari Okto.
            Aku bergegas menuju kafe puncak. Setelah melalui jalan yang cukup jauh, aku pun sampai dan bergegas menuju atas. Ditangga, Arief menghentikan ku sejenak.
            “Lakuin yang terbaik Win !” ucap Arief
            Saat ku lihat Mellany sendiri, aku menghampirinya dengan bunga yang ku pegang dibelakang badanku. Aku belum mampu mengucapkan sepatah katapun, seakan malu dan takut karna telah menyakiti hatinya.
            “Mell...” ucapku gugup dengan kepala yang merunduku.
            “Loh kamu ngapain disini ?!” balasnya terkejut.
            “Aku tau aku salah mel. Maaf sudah melukai hatimu. Aku bingung dengan diriku sendiri yang teramat mencintai cita-citaku dan mengabaikan sebuah cinta. Tapi semenjak kehadiranmu, aku jadi sadar kalau aku juga butuh cinta. Dari semua tatapan indah kamu, senyuman manis kamu, dan juga sifat baik kamu yang membuatku merasa nyaman saat didekatmu. Kamu juga menyadarkanku bahwa cita dan cinta bisa berdampingan tanpa harus merelakan salah satu diantaranya. Kini aku memutuskan untuk menambahkan daftar cita-citaku, yaitu ingin membuatmu bahagia, sama aku......” ucapku lalu memberikannya sebuah bunga yang telah kupegang sedari tadi dibelakangku.
            Mellany mengambil bunga itu sambil berkata, “Apa aku harus percaya sama kamu ?”
            “Apa aku harus melakukan apapun untuk membuatmu percaya sama aku ?” balasku.
            “Enggak perlu...” ucap Mellany.
            “Kenapa enggak perlu ? tanyaku.
            “Aku sudah percaya sama kamu, bahkan sebelum kamu mengatakan semua nya. Bawa novel “Love Story” nya nggak ? Baca endingnya deh...” balasnya dengan mata berkaca-kaca.

Aku membuka buku novel itu dan membaca endingnya yang bertuliskan,

            “Karna kadang, cinta tak harus diungkapkan dengan kata-kata. Karna cinta sejati cukup diungkapkan lewat sebuah isarat dari hati...ke hati. Dan percayalah, bahwa cinta yang datang dari hati, itu tak akan pernah bekhianat...”

Aku menutup buku itu dan menghampiri Mellany lalu memeluknya seraya berkata,

“Percayalah aku tak akan berbohong.  Percayalah, bahwa isyarat cinta dari hati itu, sudah kurasakan dari awal kita bertemu. Aku sangat mencintaimu walau tak perlu waktu yang lama untuk menimbulkan rasa itu. Telah kuputuskan untuk membuat cita dan cinta itu berdampingan. Bahkan, aku juga akan terus berusaha agar mampu membuat mu bahagia denganku selamanya. Tak ada lagi yang aku khawatirkan antara cita dan cinta. Karna jika aku bertanya tentang cita dan cinta, jawabannya cuman satu, kamu. Aku sangat mencintaimu...”




Tamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar