Cinta
dan Harapan
Inspired by Cellin Kantawie
Inspired by Cellin Kantawie
Hujan
deras pagi itu membangunkan diriku dari sebuah tidur yang nyenyak. Terasa
dingin yang menusuk hingga ke tulang tubuhku. Segera ku beranjak bangun dari
tempat tidurku dan bergegas untuk menjalani aktifitas hari ini.
“Brrrrr...” terasa dingin ketika simburan
air pertama membasuhku, hingga selesai mandi dan aku bersiap untuk menuju
kesekolah. Sebelumnya ku sempatkan untuk meminum secangkir coklat panas yang ku
buat sendiri, hingga habis dan memacu langkahku untuk menuju sekolah.
Dengan
mengendarai sebuah mobil, perjalananku menuju sekolah begitu lancar karna jalan
pagi itu belum terlalu ramai. Hingga akhirnya aku sampai didepan sebuah gerbang
bertuliskan “SMK Negeri 7 Samarinda”.
Ku
parkir mobilku dan dengan terburu-buru menuju kelas. Sebelumnya perkenalkan
namaku Muhammad Edwin, dan kini aku duduk dibangku kelas 3 SMA. Aku kembali
meneruskan langkahku untuk menuju kelas.
“Tumben
turun cepat ?” Tegur Rio sahabtku.
“Hujan
sih, makanya jadi bangun cepat.” Balasku.
“Oh iya
Win, gimana hasil tes kesehatanmu semalam ?” Tanya sahabatku yang lain, Alif.
“Haha
nggak apa kok, aku cuman kecapean aja.” Balasku lagi dengan senyuman. Ya, salah
satu senyum palsu yang harus ku keluarkan pagi itu.
“Hmm
bagus deh.” Sambungnya.
Perbincangan singkat kami terhenti karna guru yang mengajar masuk. Selama 2 jam pelajaran, guru pun usai memberikan materi dan soal yang harus kami kerjakan dirumah. Aku belum mau beranjak dari tempat dudukku, sampai akhirnya sahabat-sahabatku mengajakku ke kantin.
Perbincangan singkat kami terhenti karna guru yang mengajar masuk. Selama 2 jam pelajaran, guru pun usai memberikan materi dan soal yang harus kami kerjakan dirumah. Aku belum mau beranjak dari tempat dudukku, sampai akhirnya sahabat-sahabatku mengajakku ke kantin.
“Win,
kantin yuk ?” Ajak Arfan.
“Bentar,
aku simpan novel dulu.” Balasku.
Akhirnya
aku dan 4 temanku yang lain menuju kantin. Sampai dikantin aku menuju sebuah
warung kecil tempat dimana aku sering memesan sebuah makanan. Karna
menurutku,warung kecil itulah yang menyiapkan menu makanan ter-enak.
Ketika
hendak memesan, aku melihat seorang siswi sedang menyiapkan sebuah makanan,
“Wah,
diwarung Bu Sopie sekarang ada pelayannya ya ?” Tegurku pada Bu Sopie dan
seorang siswi yang sedang menyiapkan makanan itu.
“Yang
kakak maksud itu aku ?” Tanyanya.
“Lain,
tuh aqua gelas yang ada dimeja. Ya kamu lah.” Balasku.
“Yeeee ! Aku bukan pelayan disini kak, cuman nyiapkan makanan sendiri soalnya nggak mau
ngerepotkan orang lain.” Ucapnya.
“Cewek
yang menarik.” Gumamku dalam hati.
“Oh gitu
ya. Yaudah Bu Sopie, 1 ya.” Ujarku memesan seperti biasanya pada Bu Sopie.
Setelah
memesan, aku menghampiri teman-temanku yang lain. Ketika sedang asik bercanda
bersama teman-temanku, siswi yang tadi ku temui diwarung Bu Sopie menghampiri
meja kami dengan membawa sebuah makanan.
“Kakak
yang mesan diwarung Bu Sopie tadi kan ?” Tanyanya ketika sampai dimeja tempat
kami hendak makan.
“Iya.
Loh kok kamu yang anterin ?” Tanyaku bingung.
“Tadi Bu Sopie lagi sibuk, yaudah aku yang bantu antarkan pesanan kakak.” Balasnya
tersenyum lalu menaruh makanan yang ku pesan ke meja.
“Oh
gitu. Yaudah makasih ya.” Ucapku padanya dengan sebuah senyuman.
“Iya
sama-sama kak.” Jawabnya lalu memutar badannya kembali ke warung Bu Sopie.
“Eh bego, kenapa ga sekalian kenalan ?” sahut Putra.
“Eh bego, kenapa ga sekalian kenalan ?” sahut Putra.
“Iya
win, kamu ni bego, sinting, buta tuli atau apa sih ? Cewek kayak gitu
dilewatkan.” Sambung Rio.
“Yaudah
tunggu disini.” Ucapku lagi lalu berdiri menghampiri siswi tadi.
Ketika sampai diwarung Bu Sopie, aku mencoba menghampirinya.
Ketika sampai diwarung Bu Sopie, aku mencoba menghampirinya.
“Loh mas
Edwin, ada yang kurang ?” Tegur Bu Sopie.
“Nggak
ada kok bu hehe.” Balasku tersenyum.
“Eh iya,
nama kamu siapa ?” Terusku menegur siswi yang tadi mengantar makananku.
“Saya
kak ? Nama saya Cellin Kantawie.” Jawabnya tersenyum manis.
“Aku
Muhammad Edwin.” Ucapku lalu mengacungkan tanganku seraya berkenalan dan dia
pun membalas acungan tanganku.
“Yaudah thanks
ya Cellin, udah mau anterin makanan tadi.” Aku melepaskan genggaman tangan itu
dengan sebuah senyuman.
“Sama-sama
kak Edwin.” Lalu dia kembali melemparkanku sebuah senyum manis yang begitu
nyaman dipikiranku.
Aku
berbalik arah kembali menghampiri teman-temanku yang terlihat lahap menghabisi
makanan mereka. Sampai menghampiri mereka, aku tiada hentinya tersenyum
membayangkan senyum manis Cellin, terlebih ginsul giginya yang membuat senyumnya telihat begitu sangat manis.
“Kenapa
kamu senyum-senyum ?” Tegur Upi.
“Kepo
banget.” Balasku singkat.
“Sudah
tau namanya ?” Tanya Rio.
“Sudah
dong.”
“Siapa
Win ? Sahut Arfan.
“Kepo
banget.” Balasku lagi.
“Seriusan
kali.” Ucap Putra.
“Hahahaha
iya-iya, namanya Cellin Kantawie.” Jawabku disertai tawa.
“Ya
baguslah kalau kamu sudah tau namanya.” Sambung Rio.
Hingga
selesai makanan, kami ber-5 kembali menuju kelas. Diperjalanan menuju kelas,
aku melihat sebuah buku tergeletak dilantai. Ku ambil buku itu dan sedikit
kaget ketika melihat sebuah nama yang tak asing menurutku dibagian depan buku
itu. Ya, Cellin Kantawie.
“Oh jadi
kelas 10 Multimedia 2.” Ucapku dalam hati.
“Eh
kalian ke kelas duluan aja ya. Aku ada urusan bentar.” Ujarku pada
teman-temanku.
“Yaudah,
kami duluan po.” Sahut Rio.
Aku
berjalanan menuju kelas 10 Multimedia 2. Sampai didepan kelas 10 Multimedia 2, aku langsung
masuk dan mencari Cellin. Saat didalam kelas, aku melihat Cellin tergesah
mengobrak-abrik tasnya. Mungkin sedang mencari buku yang hilang yang saat ini
ku pegang.
“Cari
ini ya ?” Tegurku lalu menyodorkan buku itu kehadapannya yang sedang sibuk
mencari sesuatu.
“Eh iya,
kok bisa sama...Loh kak Edwin ?” Jawabnya bingung.
“Iya nih
bukumu. Tadi jatuh didekat tangga.” Balasku tersenyum lalu memberikan buku itu
padanya.
“Duh
makasih ya kak.” Ucapnya lega.
“Cuman
makasih doang ? Nggak ada yang lain ?” Jawabku memandangnya.
“Yah,
terus apa dong kak ?” Sambungnya bingung.
“Gimana
kalau pulang sekolah, aku anterin kamu pulang ?” Ujarku.
“Hm iya
deh kak.” Balasnya.
“Yaudah
sampai ketemu pulangan, Cellin.” Ucapku lagi tersenyum dan dibalasnya dengan
sebuah senyuman pula.
Aku
bergegas kembali menuju kelas. Sampai dikelas untungnya guru belum masuk, karna
bel tanda istirahat usai telah berbunyi saat aku dikelas Cellin. Tiba dikelas
aku langsung duduk ditempatku.
“Dari
mana tadi ?” Tegur Arfan.
“Kembalikan
bukunya Cellin, tadi nggak sengaja ngeliat buku dia jatuh dekat tangga.”
Balasku.
“Oh
gitu.” Jawabnya singkat.
Bel
tanda pulangan berbunyi. Aku langsung bergegas mengambil mobilku. Saat keluar
gerbang, aku melihat Cellin sedang menunggu. Perlahan ku hampiri dia yang sedang
sibuk dengan handphone nya.
“Sudah
lama ya ?” Tegurku.
“Eh kak
Edwin. Belum kok kak.” Balasnya.
Aku turun
dari mobilku lalu membuka-kan pintu sebelah untuknya masuk.
“Silahkan
masuk.” Ucapku seperti supir diftv-ftv romance yang ada ditv.
“Bisa
aja kak haha. Makasih.” Balasnya lagi dengan senyum manis khasnya.
Akhirnya
aku mengatarkan Cellin untuk menuju rumahnya. Diperjalanan mengantarnya pulang,
kami bercerita banyak tentang kehidupan sehari-hari kami, bahkan yang sudah
bersifat pribadi. Dia orang yang asik menurutku, orang yang mudah bergaul
dengan orang lain. Tak lupa canda tawa menyelimuti percakapan kami.
Perjalanan
yang cukup jauh, akhirnya kami sampai dirumah Cellin. Namun itu semua tak terasa
karena terlalu asik berbicara dimobil. Cellin turun dari mobil, begitu juga aku.
“Sekali
lagi makasih ya kak udah mau nganterin hehe.” Ujarnya tersenyum.
“Hehe
iyaa sama-sama, Cell.” Balasku juga tersenyum.
“Mau
masuk dulu kak ?” Tanyanya.
“Eh
nggak usah, aku langsung balik aja. Salam sama mama kamu ya.” Balasku lagi.
“Yaudah
aku balik dulu ya, Cell. Besok mau dijemput nggak ?” Sambungku.
“Hm
terserah aja kak hehe.” Ucapnya.
“Yaudah
besok aku jemput ya.” Jawabku lalu melemparkan sebuah senyuman sebelum masuk ke
dalam mobil.
Aku
berbalik menuju mobil dan mulai berjalan ke arah pulang. Tak ada hentinya ku
tersenyum membayangkannya, melihat tingkah dan suaranya yang lucu. Ya, dia baru
ku kenal hari ini. Tapi entah mengapa dia bisa membuatku merasa nyaman dalam
waktu sekejap.
Pikiranku
terus tertuju padanya. Aku sudah sampai dirumah. Memasuki rumah pun aku terus
tersenyum memikirkan Cellin. Aku langsung masuk kedalam rumah, diruang tengah
ibu ku sedang menonton tv.
“Assalamualaikum...”
Ujarku sambil tersenyum saat masuk kedalam rumah.
“Wa’alikumsalam...”
Balas ibuku.
“Tumben
senyum-senyum Win ?” Tanya ibuku.
“Hehe
nggak apa kok ma.” Jawabku dengan terus tersenyum.
“Nggak
usah kebanyakan senyum kamu, disangka orang gila nanti.” Tegurnya.
“Udah
gila kok ma. Gila karna siswi yang Edwin temui disekolah tadi hahahaha.”
Sambungku dengan tawa lalu naik menuju kamarku.
Hari ini
begitu melelahkan, namun juga menyenangkan. Tak kusangka bisa bertemu dan
berkenalan dengan Cellin. Sesosok wanita dengan senyum khas yang mampu membuat
pikiranku begitu nyaman. Suara lucunya yang membuatku tak ada hentinya ingin
tertawa. Tak ada hentinya terus ku pikirkan, hingga aku terlelap dalam tidurku.
Pagi
selanjutnya tiba. Aku bersiap menjemput Cellin. Usai sarapan sejenak aku pun
berpamitan dengan orang tuaku dan langsung bergegas menjemput Cellin. Perjalanan
yang tak jauh dari rumahku, aku pun tiba depan rumahnya.
Aku kembali turun dari mobilku, berniat membukakan pintu untuk sang putri masuk.
Aku kembali turun dari mobilku, berniat membukakan pintu untuk sang putri masuk.
“Silahkan
masuk Putri...” Ujarku membukakan pintu mobil.
“Nama
aku Cellin kak, bukan Putri haha.” Balasnya tertawa.
“Haha
tapi menurutku, kamu itu seorang Putri loh.” Sambungku tersenyum.
“Jadi
ceritanya ngegombal nih ? Dah yuk, nanti terlambat nih.” Ucapnya lalu masuk
kedalam mobil.
Akhirnya
aku dan Cellin menuju sekolah bersama. Saat sampai disekolah, detik-detik tanda
masukan pun hampir berbunyi. Aku menghentikan mobilku didepan gerbang sekolah,
berniat meminta Cellin untuk masuk duluan.
“Udah
kamu masuk duluan aja, aku parkir mobil dulu. Bentar lagi masukan nih.” Ucapku
pada Cellin.
“Tapi
nanti kakak telat loh ?” Balasnya.
“Nggak
apa. Cepat nanti malah kamu ikut telat lagi.” Sambungku memintanya untuk masuk
duluan.
“Yaudah
deh kak.” Balasnya singkat lalu turun dan masuk.
Aku
mencari tempat parkir. Setelah dapat, aku langsung berlari menuju gerbang
sekolah. Na’asnya aku malah terlambat, saat dimana gerbang sudah ditutup. Aku
menunggu didepan gerbang sampai gerbang sekolah kembali terbuka.
Kepala
sekolah menghampiriku saat aku sendiri didepan gerbang. Sialnya pada hari itu
hanya aku yang terlambat. Dan membuatku satu-satunya murid yang bakal dihukum
hari itu.
“Tumben
terlambat, Win ?” Tegur kepala sekolahku.
“Maaf
pak, saya tadi lama cari tempat parkir.” Balasku merunduk.
“Kamu
hormat tiang bendera aja sampai jam istirahat, habis itu kamu boleh masuk
kedalam kelasmu.” Sambungnya yang sedikit membuatku lega.
“Baik
pak terima kasih.” Aku langsung menuju tengah lapangan.
Matahari
begitu terik pagi itu, aku terus menghormati tiang bendera sampai jam
istirahat. Entah kenapa tiba-tiba jantungku merasa sakit. Aku terus memegang
dadaku. Terasa sangat sakit, tapi aku harus menjalani hukuman ini karna aku tau
ini kesalahanku.
Terus ku
tahan rasa sakit ini. Hingga akhirnya bel tanda istirahat berbunyi. Aku
mengambil tempat duduk didekat ring basket. Sedikit ngos-ngosan aku mencoba menenangkan diriku. Tiba-tiba teguran
seorang wanita mengagetkanku.
“Pasti
capek ya kak ?” Tegurnya yang ternyata Cellin dengan membawakanku sebuah air
mineral.
“Eh Cellin, hm makasih ya.” Balasku lalu mengambil dan membuka air mineral itu
seraya meminumnya.
“Maaf ya
kak, gara-gara aku kakak harus dihukum.” Ujarnya merundukkan kepalanya.
“Loh kok
minta maaf ? bukan gara-gara kamu kali. Memang timing nya aja yang nggak pas. Udah nggak apa kok.” Balasku
tersenyum.
“Malam dinner bareng yuk ?” Ajakku padanya.
“Malam
ini ? Dimana kak ?” Jawabnya.
“Di ************
aja. Nanti ku jemput jam 7an ya.” Sambungku.
“Oke deh
kak hehe.” Balasnya lagi dilapisi senyuman.
Usai
itu, aku menuju kantin bersama Cellin. Ia kembali menyiapkan makanan untukku dan
kami pun makan berdua. Tak lupa canda tawa ada dalam setiap perbincangan kami,
membuat aku semakin nyaman dengannya.
Selesai
makan, aku beranjak menuju kelas. Pelajaran dari selesai istirahat pun dimulai
hingga pulang sekolah. Aku bergegas mengmbil mobilku menunggu Cellin didepan
gerbang sekolah. Tak lama ia datang dan kembali aku membukakannya pintu dan ia
pun masuk kedalam mobil.
Perjalanan
cukup jauh, aku sampai mengantarkannya pulang.
“Makasih
ya kak. Btw sampai ketemu nanti malam ya.” Ucapnya tersenyum.
“Hehe
iyaa Cell. See you...” Balasku sambil membalas senyumnya.
Aku
bergegas balik menuju rumah. Sampainya aku menghampiri ibuku diruang tengah
yang sedang menonton tv. Jantungku masih terasa sakit walau tak begitu sakit.
Aku mencoba menaruh tasku lalu menghampirinya.
“Ma, mau
nanya sesuatu boleh ?” Tegurku.
“Mau
nanya apa Win ?” Tanyanya balik.
“Kapan
kita ke jerman ? Oprasiku jadi ?” Ucapku merunduk sambil memegang dadaku.
“Besok
malam kita udah berangkat. Pertanyaanmu kok aneh ? Ya iya lah jadi. Kalau
operasi ini nggak dilakukan, kamu tau sendiri kan akibatnya ?” Balasnya serius.
“Paham
kok. Akibatnya kelangsungan hidupku nggak bakal lama kan ? Aku nggak bisa
bertahan hidup lama dengan jantung yang seperti ini.” Ucapku seraya air mataku
menetes.
“Udah,
mama yakin kamu bisa menang melawan penyakitmu. Mama tau kamu orang yang kuat.”
Ucapnya tersenyum dan memelukku.
“Yaudah,
malam Edwin mau makan malam sama Cellin. Adik kelas yang selama ini jadi alasan
semangat dan senyumanku ma hehe.” Sambungku tersenyum dan mengusap air mataku.
“Oh jadi
namanya Cellin ? Yaudah kamu siap-siap gih.” Balasnya tersenyum dan mengelus
kepalaku.
Malam tiba.
Aku bergegas menjemput Cellin. Entah mengapa, malam itu Cellin begitu cantik dan
manis dengan sebuah dress warna putih
menyelimuti tubuhnya, juga rambutnya yang ter-urai begitu indah.
“Subhanallah,
cantiknya.” Ucapku ternga-nga melihat Cellin malam itu.
“Bisa
aja. Kakak juga kelihatan keren malam ini hehe.” Balasnya tersenyum.
“Yaudah
silahkan masuk...” Ujarku membukakannya pintu mobil.
“Terima
kasih kak haha.” Balasnya lagi dengan senyum tawa.
Akhirnya
aku menuju sebuah tempat yang sudah ku katakan pada Cellin pagi tadi disekolah.
Tak jauh ku kami tempu perjalanan, aku dan Cellin sampai ditempat tujuan kami.
Sebelumnya
sebuah tempat dirumah makan itu sudah ku pesan. Aku memesan tempat paling atas
dirumah makan itu. Menaiki lift aku
dan Cellin sampai dipuncak. Cellin hanya terdiam sejenak seakan tak percaya
dengan tempat seindah ini. Aku menarik tangannya untuk duduk berdua.
“Kok
diam aja ?” Tegurku.
“Nggak
apa kak. Cuman nggak percaya kakak ajak aku ke tempat kayak gini.” Balasnya tersenyum dilapisi air mata.
“Loh kok
nangis ?” Tanyaku lalu menghapus air matanya.
“Hehe
nggak apa kok kak.” Balasnya lagi dan tetap tersenyum.
Akhirnya
kami berdua makan malam bersama. Saling menyuapkan sebuah makanan yang kami
pesan. Usai makan, aku menggenggam tangannya begitu erat. Ku tatap matanya
begitu dalam. Terdiam sejenak, aku pun mulai berbicara padanya.
“Tau
nggak ? Aku bingung sama diriku sendiri. Belakangan ini ada banyak hal yang
bisa saja membuatku tersenyum tiba-tiba, tertawa tiba-tiba dan terdiam
tiba-tiba. Aku terus berpikir alasan dari itu semua. Pada akhirnya aku dapat
jawabannya. Jawabannya cuman satu. Kamu Cell...” Terangku padanya.
“Kalau
boleh jujur, aku juga ngalamin hal itu kak. Tapi aku bingung untuk bilang ke
kakak. Aku...aku...aku tanpa sengaja menyimpan perasan lebih ke kakak.”
Balasnya sambil merunduk.
“Tatap
mata aku dong hehe. Entah sekarang apa yang harus aku lakukan. Tapi aku akan buat
kamu bahagia suatu saat nanti Cell. Oh iya, besok aku harus berangkat ke
jerman. Ada yang harus aku lakukan. Cuman 2 bulan kok. Tunggu aku kembali ya.”
Ucapku seraya memegang tangannya.
“Iya
kak. Cellin tunggu disini. Cellin bakal nunggu kakak sampai balik lagi. Cellin sayang sama kakak.” Kali ini air matanya tak dapat ia bendung. Aku mencoba
menghapusnya karna tak ingin melihat air mata itu mengacaukan kecantikannya
malam itu.
Akhirnya
aku dan Cellin bersiap pulang. Saat sampai dirumahnya dia langsung turun dan
begitu juga aku. Cellin menghampiriku dan langsung mencium pipiku. Kurasa ini
mimpi, tapi enggak. Tak ada percakapan. Cellin langsung masuk menuju rumahnya.
Hingga akhirnya aku juga memutuskan untuk pulang.
Sampai
dirumah, dari depan begitu ramai. Dan saat aku masuk kedalam rumah, diruang
tengah sudah ada ibuku, Arfan, Rio, Alif dan Putra. Aku pun duduk diantara
mereka.
“Ada apa
?” Tanyaku heran.
“Kita
cuman mau ngucapkan salam perpisahan sementara sebelum kamu ke jerman Win.”
Ucap Putra.
“Kalian
tau dari mana kalau aku besok ke jerman ?” Tanyaku lagi.
“Mama
yang ngasih tau. Lagian kan mereka sahabt dekatmu. Jadi wajar aja mereka harus
tau.” Sahut ibuku.
“Semoga
operasimu lancar ya Win. Kita selalu mendoakan yang terbaik buat kamu. Maaf
besok nggak bisa ngantar kebandara. Soalnya kami juga sekolah besok. Yang
terbaik buat kamu, selalu mau doakan kok.” Sambung Rio.
“Thanks
teman. Aku bakal ngelawan semua ini untuk orang tuaku, kalian semua dan juga Cellin. Aku janji aku bakal menang melawan penyakit ini. Aku akan buktikan kalau
aku bisa dan aku sanggup.” Ucapku dengan tetesan air mata dan sahabat-sahabatku
memelukku begitu erat.
Mereka
semua bergegas pulang. Dan aku menyiapkan semua yang akan ku bawa ke jerman.
Hingga aku terlelap dalam tidur dan mengakhiri hari semua aktifitas hari ini yang
sudah kulali.
Hari
yang ku tunggu tiba. Aku bergegas menuju bandara dengan ibuku. Hanya berdua
kami akan berangkat ke jerman. Sebuah pesan singkat masuk ke dalam handphoneku.
“Selamat sampai tujuan ya kak. Maaf nggak
bisa ngantar ke bandara. Semoga urusannya lancar dan cepat balik ke indonesia. Cellin tunggu disini. By Cellin.”
Sebuah
pesan singkat yang membuatku senang namun juga sedih. Aku memasuki pesawat dan
dalam beberapa menit pesawat lepas landas dan menandakan aku harus meninggalkan
beberapa hal untuk sementara atau dalam kata lain, aku harus berangkat untuk
melawan semuanya sebelum terlambat dan aku hanya menyesalinya.
10 jam kemudian.
Aku
sudah sampai dijerman, dan 2 hari kemudian aku akan menjalani operasi. Sebelum
melakukannya aku menelpon sahabtku Rio. Aku meminta mengambilkan handphone ku
dan menelpon Rio.
“Rio ini Edwin...”
“Rio ini Edwin...”
“Eh Win, udah di jerman ? Aku lagi sama
yang lainnya nih dirumah Ilham. Gimana kondisi kamu ?”
“Aku bentar lagi operasi. Tinggal
hitungan menit. Kalian yang baik disana. Jaga Cellin buat aku. Aku janji, aku
bakal menang melawan semua ini. Aku bakal balik untuk kalian semua. Doakan aku,
teman.”
Akhirnya
perbincangan singkatku dengan Rio ku hentikan dan bersiap menjalani operasi.
Memasuki ruang operasi aku mulai meneteskan air mata, namun tetap ku selipkan
sebuah senyuman. Aku dibius dan mulai tak sadarkan diri.
8 jam
operasi berjalan.
Semua masih was-was, ibuku dan keluargaku yang ada diruangan masih menunggu aku membukakan mata. Hingga 1 jam kemudian aku mampu membukakan mataku dan pertanda aku mampu melalui ini semua.
Semua masih was-was, ibuku dan keluargaku yang ada diruangan masih menunggu aku membukakan mata. Hingga 1 jam kemudian aku mampu membukakan mataku dan pertanda aku mampu melalui ini semua.
Aku
kembali meminta handphone ku untuk mengabari semua temanku diindonesia.
“Win ?
“Win ?
“Yo. Aku menang. Aku berhasil lewati
ini semua. Aku bisa buktikan kalau aku mampu, aku bisa. Kalian sekarang nggak
perlu khawatir. Tapi maaf, aku baru bisa balik ke indonesia tahun depan. Ada
yang harus aku lakukan lagi dan ini jauh lebih penting. Sampaikan salamku ke Cellin. Tapi tolong, jangan bilang ke dia kalau aku baru balik tahun depan.
Thanks...”
“Tapi Win...”
Aku
langsung mematikan telpon itu. Tak kuasa aku mendengar kata dokter bahwa kini
aku harus benar-benar tinggal lama karna suatu masalah. Dalam benakku berkata, “Cellin...maaf...”
1 tahun
4 bulan kemudian...
Aku
bersiap kembali ke indonesia. 8 jam dengan 2x transit dari jerman, kini aku
tiba dijakarta. Aku menelpon sahabt-sahabatku untuk menungguku tiba disamarinda
nanti tepat jam 10 pagi. Beberapa jam istirahat dijakarta, kini aku bersiap
menuju balikpapan lalu samarinda.
Tiba
disamarinda, aku melihat sahabatku sudah berada didepan rumahku. Aku keluar dari mobil dan
semua sahabatku langsung memelukku dengan erat, begitu juga denganku yang
memeluk mereka dengan erat karena sebegitu lama tak bertemu.
“Gila
kangen banget aku sama kamu Win !” Seru Rio.
“Bener,
nggak asik kita kalau ngumpul nggak ada kamu.” Sahut Putra.
“Gimana,
lancar sudah sehat sekarang ?” Tanya Alif.
“Ya
alhamdulillah udah sehat kok.” Balasku tersenyum.
“Kamu
yang operasi aku yang deg-degan.” Tambah Arfan.
“Bukan
cuman kamu Fan, kita semua juga kali haha.” Sambung Rio.
“Haha.
Oh iya, Cellin gimana ?” Tanya ku pada mereka.
Seketika
sunyi, tak ada satu pun jawaban yang keluar dari mereka. Kini menimbulkan tanda
tanya besar untukku. Ku akui salah meninggalkan dia begitu lama. Tapi apa daya,
ini ku harus ku lakukan agar bisa terus melanjutkan hidupku dan bisa hidup
begitu lama dengan Cellin.
“Cellin gimana ?! Tanya ku lagi.
“Ada 2
kabar Win tentang dia.” Balas Rio.
“Apa ?”
Jawabku singkat.
“Kabar
pertama, dia makin cantik. Sumpah kalau kamu liat makin klepek-klepek kamu sama Cellin.” Sahut Putra.
“Terus
kabar kedua nya ?” Tanyaku lagi dan lagi.
“Kabar
keduanya Cellin...Cellin...”
“Cellin kenapa ?! Ucapku penasaran.
“Cellin mungkin nggak mau ketemu kamu lagi Win.” Balas Putra sambil merunduk.
“Maksud
kalian apa ?!” Kini aku mulai bingung dengan alasan Cellin yang nggak mau ketemu
denganku lagi.
“Kan
diakhir pertemuan kalian berdua, kamu bilang cuman beberapa bulan. Tapi
nyatanya setahun 4 bulan kamu pergi. Ya kita tau, itu karna kamu mau operasi,
tapi namanya juga cewek, susah buat dia mengerti hal ini.” Terang Rio.
“Aku mau
ketemu dia sekarang. Sekarang dia dimana ?” Tanyaku.
“Dia
mungkin masih disekolah. Yakin mau ketemu dia ?” Tanya balik Alif.
“Yakin.
Yaudah masuk mobil.” Balasku singkat.
Akhirnya
kami ber5 menuju SMK Negeri 7 Samarinda, sekolah kami dulu setelah kami lulus. Perjalanan
tak jauh kami sampai didepan SMK Negeri 7. Aku hanya menunggu Cellin keluar dari
sekolah. Sebelumnya aku membeli sebuah bunga untuknya, dan tak lama Cellin keluar dari sekolah.
Aku turun
dari mobil dan langsung menghampirinya.
“Cellin...”
Tegurku.
Cellin hanya membuang mukanya dan bergegas pergi meninggalkan ku. Aku menarik tangannya untuk menjelaskan semua yang terjadi dan salah satunya alasan mengapa aku meninggalkannya begitu lama selama ini.
Cellin hanya membuang mukanya dan bergegas pergi meninggalkan ku. Aku menarik tangannya untuk menjelaskan semua yang terjadi dan salah satunya alasan mengapa aku meninggalkannya begitu lama selama ini.
“Apa sih
?! Pergi aja sana !” Balasnya dengan emosi dan melepaskan tangannya dari
genggaman tanganku.
“Aku
cuman mau jelaskan semua ini.”
“Jelaskan
apa ?! Nggak ada yang perlu dijelaskan lagi !” Lalu ia pergi meninggalkanku.
Bunga yang tadi pegang ku jatuhkan, menandakan gimana hancurnya hatiku atas
sikap Cellin barusan.
Aku
kembali ke mobil menghampiri teman-temanku. Raut wajahku sudah menandakan
kekecewaan. Ketika didalam mobil aku hanya terdiam merenungi semua kesalahanku
dan sikap Cellin barusan.
“Gagal
?” Tanya singkat Rio.
“Ya.
Gagal.” Balasku juga singkat.
Aku
mengeluarkan sebuah kertas untuk menuliskan pesan buat Cellin. Tak kuasa air mataku menetes ketika menulis surat itu. Ketika usai
menuliskan pesan singkat itu, aku meminta Putra untuk mengasih surat itu ke Cellin.
Setelah usai, Putra pun bergegas mencari Cellin.
Beberapa
saat kemudian Putra balik dan masuk kedalam mobil.
“Dia
terima suratnya ?” Tanyaku ke Putra.
“Iya
Win, dia ambil surat itu kok. Katanya “Jangan pernah temui dia lagi”.” Balas Putra yang hanya membuatku tersenyum kecil.
“Mungkin
sekarang dia sudah baca surat itu.” Ucapku pada teman-temanku dimobil.
Mungkin
hanya surat itu yang mampu menyampaikan semua kesalahanku pada Cellin. Ya,
sebuat surat untuknya dariku yang berisi,
“Dear Cellin...
Mungkin sekarang kamu sudah baca
surat ini. Awal kata aku cuman mau minta maaf karna sudah meninggalkan mu
selama ini. Diakhir pertemuan kita sebelumnya aku cuman bilang kalau aku pergi
untuk beberapa bulan. Tapi pada akhirnya aku meninggalkanmu setahun lebih.
Cell...
Andai kamu tau apa alasan aku pergi,
mungkin semua ini nggak perlu terjadi. Lewat surat kecil ini aku mau cerita
sesuatu sama kamu. Sebenarnya aku mempunyai penyakit jantung. Aku sempat
divonis kalau aku nggak akan bertahan hidup lebih lama kalau nggak melakukan
operasi cangkok jantung. Saat pertama ketemu kamu, aku seperti melihat sebuah
mutiara ditengah-tengah pasir coklat.
Aku mulai mencintaimu begitu dalam
diawal pertemuan kita, ku akui aku langsung menyimpan perasaan sama kamu diawal
pertemuan kita. Dari senyum manismu yang membuatku begitu nyaman, dan matamu
yang membuatku susah untuk memutar pandangan ini ke arah manapu, juga suaramu
yang begitu lucu nan indah terdengan ditelingaku. Aku harus melakukan operasi
ini biar bisa hidup dengan lama, hidup dengan lama bersama kamu. Kalau aku
nggak lakukan operasi ini, mungkin pertemuan kita hanya singkat dan tak
berkesan, jadi aku melakukan ini agar kita bisa bersama terus.
1 tahun 4 bulan memang lama untuk
kita tak bertemu, tapi itu cuman sementara daripada kita takkan bertemu lagi.
Harusnya aku hanya 4 bulan disana, tapi aku juga divonis lumpuh sementara yang
membuatku tak bisa jalan untuk beberapa saat karna sempat gagal dioperasiku dan
harus membuatku bertahan setahun lagi untuk menyembuhkan lumpuh sementaraku
ini. Sebab itulah aku pergi selama ini karna tak mau cacat didepan matamu. Aku
selalu ingin tampil sempurna dihadapanmu, ingin tampil begitu baik dihadapanmu.
Aku menang dalam operasi itu, aku selalu memikirkanmu, karna benakku berkata
“Kalau aku gagal dalam operasi ini, itu sama aku gagal untuk membuatmu bahagia
bersamaku.
Itulah kenapa aku harus bertahan
lama disana. Aku harap kamu mengerti. Dan sekali lagi maafkan aku. Aku terlalu
mencintaimu sampai harus melakukan semua ini. Asalkan kamu tau, bahkan 10 dewa
pun tak mampu mengubah perasaanku pada mu, karna 10 dewa itu tak akan bisa
mengubah cinta dan kasih sayang ku ke kamu yang teramat dalam.
Aku mencintaimu, lebih dari yang kau
tau...
Kalau kamu sudah baca surat ini, aku
tunggu nanti malam, ditempat dulu kita sempat makan malam berdua...”
Itu lah sebuah surat singkatku untuk Cellin dan berharap ia membacanya. Aku bergegas pulang. Dan malam harinya, aku menuju tempat dulu aku dan Cellin bertemu. Teman-temanku menunggu dibawah.
Itu lah sebuah surat singkatku untuk Cellin dan berharap ia membacanya. Aku bergegas pulang. Dan malam harinya, aku menuju tempat dulu aku dan Cellin bertemu. Teman-temanku menunggu dibawah.
Beberapa
lamaku menunggu, Cellin tak kunjung datang. Sempat frustasi sampai sebuah suara
kecil yang memanggil namaku membuatku menoleh kebelakang yang ternyata Cellin.
“Cellin...”
Ucapku dan air mataku menetes.
“Kak
Edwin maaf...” Balasnya lalu merunduk.
Aku
menghampirinya dan langsung memeluknya dengan erat.
“Maaf
kak...” Ucapnya lagi dan aku langsung menutup mulutnya untuk tak berkata
apapun.
“Kamu
nggak perlu minta maaf, cuman keadaan yang rumit sampai-sampai susah untuk
dijelaskan. Aku sayang sama kamu, Cell...” Ujarku dalam peluk hangatku.
“Aku juga sayang sama kakak...” balasnya lagi disertai tangis yang ada dalam pelukku.
Benakku
seakan berbisik pada Tuhan,
“Tuhan...
Kini aku sudah menemukan apa yang kucari, jaga aku dan Cellin, tolong, tolong jangan pisahkan kami. Dia adalah cinta yang aku harapkan dan harapanku tentang cinta sudah ada padanya. Aku sudah menemukan cinta dan harapan itu pada dirinya. Aku mencintainya Tuhan, sampaikan itu padanya.
Kau bisa membuat kami bertengkah
hebat, Kau bisa membuat kami untuk tak saling berteguran, dan Kau bisa membuat
kami tak saling bertemu, tapi aku minta jangan Kau buat kami untuk berpisah lagi,
cukup 1 tahun 4 bulan yang lalu dan jangan pernah lagi.
Katakan padanya Tuhan, bahwa
sekarang akan ada sesosok laki-laki yang akan berusaha membuatnya bahagia dan terus
tersenyum. Akan ada sesosok laki-laki yang siap memberikan pundaknya jika ia
ingin bersandar apabila capek dengan hidup ini dan selalu menghiburnya dengan
segala cara. Akan ada sesosok laki-laki yang akan menjaganya dengan sepenuh
hati, dan akan ada sesosok laki-laki yang memberikannya sebuah cinta dan
harapan yang selama ini ia harapakan, dan sosok laki-laki itu adalah aku. Aku
mencintainya Tuhan, dan ku tau Engkau pun tau.”
Tamat

Tidak ada komentar:
Posting Komentar